jump to navigation

Lima Hari Kerja, Harapan dan Tantangan Juli 2, 2007

Posted by darunnajah in Seputar Kampus.
trackback

Sebagai lembaga di bawah naungan Departemen Agama, STAIN Purwokerto terus berbenah diri dengan kedisiplinan kerja. Berdasarkan surat edaran No. Sti./26/H/HK.00.7/1378/2007 tentang pelaksanaan 5 hari kerja,STAIN Purwokerto mulai menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut di laksanakan sejak 1 Mei 2007. Kebijakan tersebut merupakan hal baru di lingkungan STAIN khususnya STAIN Purwokerto. Karena itu, sosialisasi dan pelaksanaan diharapkan tidak membebani proses kegaiatan akademik. Dilihat dari dampaknya, kebijakan ini mengundang program kontrak antar pegawai dilingkungan STAIN.

Pertama, ditinjau dari psikologis Dosen, Karyawan dan Mahasiswa. Dosen merupakan salah satu kunci keberhasilan proses perkuliahan diperguruan tinggi. Ketika kebijakan lima hari kerja diterapkan, pelayanan yang berkaitan dengan perkuliahan juga berubah. Bagi Dosen yang memiliki jam tatap muka yang banyak dengan Mahasiswa harus memadatkan selama lima hari. Kondisi ini berdampak terhadap efektifitas perkuliahan. Dengan waktu enam hari perkuliahan, Dosen mampu mengatur perkuliahan dengan baik. Akan tetapi, ketika lima hari kerja diterapkan dosen harus mengatur waktu tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas perkuliahan. Sebaliknya, bagi Dosen yang memiliki jam sedikit tatap muka dengan mahasiswa tak ada persoalan. Hal ini justru menguntungkannya. Ia bisa lebih fokus melakukan kegiatan lain selain perkuliahan. Dengan demikian, ia lebih bisa kreatif. Bagi karyawan, Kebijakan ini tentunya sangat menguntungkan. Meskipun mereka dituntut masuk kantor sampe sore, mereka memiliki hari libur lebih di bandingkan sebelumnya. Adapun mahasiswa, lebih proaktif untuk mengikuti kebijakan yang sedang berjalan.

Kedua, dilihat dari kondisi phisik para pegawai. Bagi karyawan dan Dosen laki-laki, tentunya tidak berpengaruh banyak. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata perempuan tentunya sangat berbeda. Degan kondisi phisiknya yang lemah, tentunya kebijakan ini sangat memberatkan baginya. Dengan lima hari kerja,mereka di paksa secara phisik untuk melaksanakan kerja sesuai kebijakan yang berlaku. Mereka harus datang setengah delapan dan pulang jam empat sore. Mau tidak mau, mereka harus dikantor sampe sore. Dengan kondisi ini, tidak mengherankan jika kebijakan ini mendapat banyak keluhan dari karyawan dan Dosen Perempuan. Akan tetapi, jika ditinjau lebih jauh, mereka justru mendapat kesempatan yang banyak untuk mengurus keluarga. Mereka memiliki hari libur minimal dua hari dalam seminggu.

Berdasarkan surat edaran No. Sti./26/H/HK.00.7/1378/2007 tentang pelaksanaan lima hari kerja, STAIN Purwokerto mulai menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut dilaksanakan sejak 1 Mei 2007. Kebijakan tersebut merupakan hal baru dilingkungan STAIN khususnya STAIN Purwokerto.

Jika dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Pertama, Kondisi Dosen dan Karyawan dalam hubungannya dengan masyarakat. Selain bertugas di kantor, karyawan dan dosen juga hidup dan tidak bisa melepaskan dirinya dengan kehidupan sosial. Dengan lima hari kerja, dosen dan karyawan dituntut mampu mengatur waktu melaksanakan tugas kantor dan hubungan sosial dengan masyarakat. Disamping itu, mereka memiliki tugas dan kewajiban terhadap keluarga. Jika tidak ada keseimbangan antara kewajiban kantor, rumah dan masyarakat, aktifitas yang berjalan akan terganggu. Karena itu, perlu pertimbangan yang tepat untuk mengatur waktu. Kedua, apakah betul dengan dua hari libur setiap minggu telah menjaga keseimbangan dengan hubungan sosial di luar kantor. Idealnya, dengan dua hari libur karyawan dan dosen memiliki waktu lebih untuk menjaga hubungan sosial dengan masyarakat. Akan tetapi, dengan lima hari kerja tidak semua karyawan dan dosen memanfaatkan libur dua hari tersebut. Ada kemungkinan mereka memilih istirahat total setelah lima hari kerja. Karna itu, ada sebagian karyawn atau dosen yang mungkin tidak mampu menjaga keseimbangan kerja di kantor dengan hubungan sosial dengan masyarakat.

Komentar»

1. wati - Juli 19, 2007

dalam prakteknya, terutama untuk tenaga perempuan untuk lima hari kerja itu terlalu capek, karena waktu kerjanya yang sampai jam 16.00 bahkan 16.30 sangat menyita waktu dan tenaga. Sehingga setelah sampai rumah waktu untuk keluarga jadi amat sedikit.


Tinggalkan komentar